Filosofi Hari Raya dalam Islam

By Muslim ID |    171 Views 06 Jul 2022, 22:29:54 WIB Hikmah
Filosofi Hari Raya dalam Islam

Keterangan Gambar : ilustrasi (pixabay)


Oleh: Mohammad Sofwan Lc., MA

 

Imam Ibnu Hajar mengatakan, “Menampakkan kebahagiaan pada hari raya adalah syiar agama.”

Baca Lainnya :

 

Umat Islam memiliki dua hari raya. Idul Fitri dan Idul Adha. Saat merayakan keduanya, alangkah baiknya kita mengetahui arti, makna, hakikat dan tujuan adanya syariat hari raya itu. Sehingga hari raya kita bernilai ibadah dan pahala.

 

Hari raya dan sunnatullah

Salah satu sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan adalah bahwa peristiwa-peristiwa dalam hidup tidak berjalan membosankan. Perubahan dan warna-warni kehidupan menghiasai perjalanan manusia di dunia ini. Syariat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha di antaranya memenuhi kebutuhan manusia ini.

 

Manusia senang dengan hiburan, perubahan, pembaruan dan variasi. Karena itulah ada Idul Fitri yang disyariatkan setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa sepanjang bulan Ramadan. Allah SWT juga mensyariatkan Idul Adha setelah sebagian umat Islam berjuang dalam melaksanakan ibadah haji.

 

Hari raya umat Islam dan umat lain

Memang hari raya ada pada setiap agama dan bangsa. Tapi dalam Islam, hari raya memiliki makna dan tujuan yang berbeda. Saat datang ke Madinah, para penduduknya memiliki dua hari khusus untuk bersenang-senang. Maka Rasulullah SAW bertanya, “Dua hari ini apa?” Mereka menjawab, “Kami bisa bersenang-senang pada dua hari ini di zaman jahiliyah.”

 

Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” [Abu Daud].

 

Hubungan keimanan

Di antara maqashid syariah hari raya adalah menguatkan persatuan sesama bagian umat Islam, mempererat hubungan atas dasar keimanan, memperdalam persaudaraan Islam antar sesama umat Islam di seluruh penjuru dunia.

 

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

 

“Hubungan sesama Muslim seperti hubungan antar bagian bangunan. Masing-masing saling menguatkan.” [Bukhari].

 

Oleh karena itu hari raya dalam Islam tidak hanya berlaku khusus di sebuah wilayah, atau khusus untuk sekelompok orang. Semua umat Islam di mana pun mereka berada bersama-sama merayakan hari raya.

 

Maka di antara tata cara perayaannya adalah anjuran untuk semua orang keluar ke tanah lapang. Tidak ada yang tetap berada di rumahnya. Muda-tua, pria-wanita, bahkan wanita yang sedang haid, semuanya berkumpul untuk mengumandangkan takbir dan tahlil.

 

Kebahagiaan hari raya

Maqashid syariah hari raya lainnya adalah perubahan dari rutinitas. Umat Islam mendapatkan kesempatan untuk beristirahat, bersenang-senang setelah keletihan, mencari hiburan, semuanya sesuai dengan aturan Allah SWT. Harapannya, setelah hari raya kita semua akan kembali bersemangat dalam beramal dan melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT.

 

Karena itulah syariat Islam mengharamkan berpuasa pada hari raya. Rasulullah SAW. bersabda, “Hari-hari tasyrik adalah hari-hari untuk makan-makan, minum-minum, dan berzikir.” [Muslim].

 

Dengan berhari raya, hubungan dalam keluarga juga akan menjadi lebih harmonis. Ada suasana canda dan ceria setelah mereka dipisahkan oleh kesibukan masing-masing pada hari yang lain. Ayah dan anak, suami dan istri, sesama kerabat dalam keluarga besar. Hubungan antar mereka itu akan kembali hangat.

 

Hari raya dan hiburan

Ibunda Aisyah RA bercerita bahwa suatu hari Rasulullah SAW datang ke rumahnya, sedangkan saat itu ada dua anak kecil yang sedang bernyanyi. Rasulullah SAW pun masuk dan merebahkan dirinya tapi tidak memandang mereka.

 

Datanglah Abu Bakar RA, dan langsung memarahi putrinya, “Ada seruling setan di rumah Rasulullah SAW?” Rasulullah SAW pun mengatakan kepada Abu Bakar RA, “Biarkan mereka, karena ini adalah hari raya. Setelah itu Ibunda Aisyah RA mengedipi mereka hingga akhirnya mereka berdua keluar.

 

Saat ada hari perayaan tombak dan tameng, Rasulullah SAW menanyai Ibunda Aisyah RA, “Kau ingin melihatnya?” Ibunda Aisyah RA. mengiyakan. Maka kemudian Ibunda Aisyah RA berdiri di belakang Rasulullah SAW, meletakkan dagunya di pundak Rasulullah SAW, dan pipinya menempel di pipi Rasulullah SAW. Selang beberapa waktu, Rasulullah SAW bertanya, “Sudah cukup?” Ibunda Aisyah RA pun mengiyakan.

 

Jadi pada hari raya harus ada suasana gembira yang berbeda dengan hari-hari lainnya. Hati harus senang, ada hal berbeda yang diberikan kepada keluarga. Tapi semua itu harus dalam bingkai kebolehan sesuai syariat Islam. Bahkan Imam Ibnu Hajar mengatakan, “Menampakkan kebahagiaan pada hari raya adalah syiar agama.”

 

Hari raya dan kaum dhuafa

Ada tujuan lain pada hari raya dalam Islam, yaitu mengingatkan hak-hak kaum dhuafa dan membutuhkan. Harus ada sesuatu yang diberikan kepada mereka, agar mereka tidak perlu susah-susah bekerja atau meminta-minta saat hari raya.

 

Maka diharapkan dengan adanya hari raya, hati-hati kita akan kembali bersih dan saling terpaut, hubungan antar sesama akan semakin kuat, kebencian dan permusuhan akan terkubur dalam-dalam, hubungan kekerabatan kembali tersambung, sahabat lama kembali bertemu. Sehingga hati-hati mereka sudah bersalaman sebelum tangan-tangan mereka bersentuhan.

 

===

Artikel ini diterbitkan atas kerja sama dengan mukjizat.co




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment