Ijtihad dan Taklid, Antara yang Boleh dan Tidak Boleh

By Muslim ID |    285 Views 18 Sep 2021, 05:55:07 WIB Fiqih
Ijtihad dan Taklid, Antara yang Boleh dan Tidak Boleh

Keterangan Gambar : ilustrasi (pixabay)


Oleh: Mohammad Sofwan Lc., MA

 

Saat ini umat kadang dibingungkan antara dua pilihan dalam menghadapi masalah-masalah yang ditemuinya. Antara ijtihad dan taklid. Perbedaan dalam masalah ini telah menimbulkan kekacauan dalam tubuh umat. Sehingga dibutuhkan aturan yang bijak.

Baca Lainnya :

 

Kita tidak boleh menolak warisan fikih beserta madzhabnya secara mutlak, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku “Tidak bermadzhab.” Kita juga tidak boleh taklid buta, seperti sikap orang-orang yang fanatis terhadap mazhab tertentu. Masing-masing kita tentu tahu posisi diri dalam keilmuan. Berilmu atau tidak. Dengan begitu masing-masing bisa bersikap benar. Taklid memang dibolehkan, tapi untuk orang yang tidak mampu menganalisa dalil.

 

Tapi ini tidak boleh permanen, harus ada upaya mengetahui dalil. Dia juga hendaknya mau menerima masukan dari orang yang dipercayai kapasitas keilmuan dan keshalihannya, untuk berdiskusi membahas sikap hukum pada masalah tertentu. Terus belajar tanpa henti sampai akhir hayat. Itulah aturan ijtihad dan taklid.

 

Dua Sikap Ekstrem

Ada kelompok yang mewajibkan ijtihad kepada semua orang. Mereka mengharamkan taklid pada semua orang. Walaupun tidak semua orang memiliki kemampuan dan persyaratan berijtihad. Kelompok ini sering disebut dengan “Al-Laa Mazhabiyah”, kelompok yang tidak mengakui kewajiban bermazhab.

Ada lagi kelompok yang mewajibkan taklid kepada semua orang, dan mengharamkan ijtihad kepada semua orang. Walaupun ada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menganalisis dalil dalam masalah tertentu yang sangat dikuasainya. Dalam pandangan mereka, ibadah harus berdasarkan satu mazhab tertentu. Kelompok ini disebut fanatis mazhab.

 

Itulah dua sikap ekstrem yang saling bertentangan, yang sikapnya sebenarnya tidak bisa diterapkan kepada semua orang dan dalam setiap kasus. Sikap yang bijak tidaklah demikian. Hendaknya masing-masing diberi hak dan kewajiban sesuai dengan kemampuannya; apakah seseorang dibolehkan berijtihad, atau diwajibkan taklid. Aturan ijtihad dan taklid.

 

Ijtihad dan Taklid Sama-sama Dibolehkan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa secara umum ijtihad dibolehkan, dan secara umum taklid juga dibolehkan. Orang yang membolehkan ijtihad tidak boleh mengharamkan taklid, dan orang yang membolehkan taklid tidak boleh mengharamkan ijtihad.

 

Adapun Syaikh Isham Basyir dari Sudan mengatakan bahwa umat Islam bisa dibagi menjadi 3 kelompok tingkatan:

  • Ulama. Mereka memiliki semua persyaratan untuk menyimpulkan hukum dari dalil. Orang-orang berkempuan seperti ini diperbolehkan berijtihad. Mereka menggunakan kemampuannya untuk memahami dan menganalisis dalil dalam masalah tertentu yang mereka kuasai.
  • Pelajar. Mereka bisa memahami dalil, tapi tidak bisa sendirian menyimpulkan hukum. Maka yang bisa mereka lakukan adalah berittiba’, mengikuti pendapat imam yang diyakininya sesuai dengan dalil yang diketahuinya.
  • Awam. Mereka tidak memahami dalil. Mereka harus bertaklid dalam masalah-masalah yang mereka hadapi.

 

Said Hawwa mengatakan bahwa orang awam mengikuti salah satu imam, mufti, atau pun ustaznya. Karena dia tidak bisa memahami dalil, maka yang memahami adalah ustaznya. Sedangkan ustaznya bisa jadi berittiba’, mengikuti pendapat mazhab tertentu karena telah memahami dalilnya. Demikian terkait aturan ijtihad dan taklid.

 

Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Seorang awam harus bertaklid kepada ulama jika menghadapi permasalahan baru. Sebagaimana perintah Allah Taala ‘maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.’ [An-Nahl: 43].” Seperti orang buta, tidak memiliki alat untuk mengetahuinya, yaitu mata, maka dia harus menanyakan arah kiblat.

 

Al-Hafizh Al-Baghdadi mengatakan, “Orang awam boleh juga menanyakan dalil, tapi dalam rangka untuk belajar, bukan untuk mempertimbangkannya. Karena bagi dia, semua dalil sama saja kuatnya.”

 

Kemampuan Kita Berbeda, Jangan Dipaksa Sama

Semua manusia diberi alat yang sama saat dilahirkan.

وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” [An-Nahl: 78].

 

Masing-masing akan ditanyakan tanggung jawabnya. Bagaimana dia menggunakan alat yang diberikan kepadanya.

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [Al-Isra’: 36].

 

Faktor pembeda tingkatan adalah ilmu yang didapatkan masing-masing.

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” [Al-Mujadilah: 11].

 

Ayat ini menunjukkan ada perbedaan antara yang berilmu dan tidak berilmu.

Maka orang yang tidak tahu hendaknya bertanya kepada yang tahu.

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” [An-Nisa’: 83].

 

Hukumnya fardhu kifayah, mengupayakan adanya ulama yang demikian.

فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah: 122].

 

Sahabat Ada yang Ulama Ada yang Awam

Mereka berbeda-beda dalam jumlah periwayatan hadits. Ada yang meriwayatkan banyak hadits hingga ribuan hadits jumlahnya. Ada yang biasa. Ada yang sama sekali tidak meriwayatknya.

 

Masing-masing mempunyai keistimewaan dalam bidang tertentu. Memang ada yang mahir dalam banyak hal. Tapi kebanyakan mereka dikhususkan oleh Rasulullah saw. untuk menjadi pakar dalam bidang tertentu.

 

Ada hal-hal tertentu diketahui sahabat, namun sahabat lain tidak mengetahuinya. Misalnya: Dalam perjalanan, salah seorang sahabat junub, udara sangat dingin. Di pagi hari para sahabat mengatakan, “Kau harus mandi junub, karena tidak ada keringanan selama ada air.”

 

Beliau mandi, lalu meninggal dunia. Rasulullah saw. bersabda:

قتلوه قتلهم الله ، قتلوه قتلهم الله ألا سألوا إذ لم يعلموا إنما شفاء العي السؤال

“Mereka sudah membunuhnya, semoga Allah membalas. Kenapa mereka tidak bertanya saat tidak tahu? Obat tidak tahu adalah bertanya.”

 

Jika para sahabat saja saling berbeda keilmuannya, mungkinkah umat Islam sekarang mau disamaratakan? Sekali lagi dibutuhkan aturan ijtihad dan taklid.

 

Apa Itu Taklid?

Secara bahasa: tali di leher binatang ternak. Maknanya: mengambil hukum dari seorang ulama, tanpa perlu mengetahui dalilnya. Taklid hanya pada masalah-masalah yang diselesaikan dengan ijtihad. Adapun yang qath’i, tidak diperkenankan berijtihad.

 

Beberapa aturan tentang taklid:

  • Awam bertaklid kepada awam: tidak boleh.
  • Mujtahid yang sudah berijtihad dalam sebuah masalah, bertaklid kepada mujtahid lain: tidak boleh.
  • Mujtahid bertaklid kepada awam: tidak boleh.
  • Mujtahid belum sempat berijtihad dalam sebuah masalah, bertaklid kepada mujtahid lain: ikhtilaf, rajihnya boleh.
  • Awam bertaklid kepada mujtahid tanpa menanyakan dalil: boleh.
  • Taklid kepada orang yang tidak diketahui kelayakannya berijtihad: tidak boleh.
  • Taklid kepada seorang mujtahid setelah diketahui dengan jelas bahwa yang tepat adalah pendapat mujtahid lain: tidak boleh.
  • Jika awam mengetahui ada hukum yang sudah jelas kebenarannya, yang bertentangan dengan hukum yang ditaklidnya dari seorang imam, maka dia harus meninggalkan imamnya, beralih kepada imam dengan pendapat yang benar tersebut.
  • Jika orang sudah meneliti sebuah masalah dengan seluruh sisinya, mengetahui dalil-dalil terkait dengan berbagai bentuk dilalahnya, maka dia boleh mengambil pendapat yang kuat menurut pengetahuannya.
  • Ulama yang memenuhi syarat ijtihad, tapi tidak berkesempatan berijtihad, maka boleh bertaklid kepada ulama lain.
  • Awam boleh berpindah-pindah mazhab yang ditaklidinya, sesuai dengan pengetahuan tentang lebih kuatnya sebuah dalil, bukan karena mencari-cari keringanan.

 

Mazhab

Ketika membahas taklid dan ijtihad, kita pun harus membahas tentang mazhab dan mujtahid. Apa itu mazhab?

 

Mazhab berdiri dari kerja sekelompok peneliti yang membentuk ushul (pokok-pokok) mereka berfikir, yang jelas, dan berbeda dengan milik kelompok lain. Ushul ini selalu dipegang dan dijadikan dasar dalam meneliti, dipertahankan dalam tradisi perdebatan, dan terus diperkuat dengan terus meneliti. Mazhab memiliki dalil pokok (Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’) dan dalil cabang masing-masing.

 

Mazhab terbentuk dengan sangat alami, bukan karena perbedaan politik, suku dan sebagainya. Hanya karena:

  • Perbedaan akal.
  • Perbedaan tempat

 

Maka secara global akhirnya terbentuklah dua mazhab besar.

 

Pertama, ahlur ra’yi, yang dominan penggunaan akalnya. Apa karakteristiknya?

  • Terkonsentrasi di Irak dan Syam.
  • Murid Abdullah bin Mas’ud ra.
  • Jauh dari Hijaz, sehingga kurang banyak sahabat penghafal hadits. Kondisi ini mendorong mereka lebih banyak menggunakan akal dalam menyimpulkan hukum dari hadits yang terbatas itu.
  • Wilayahnya dekat dengan Persia, sebuah peradaban kuno yang maju, sehingga tentunya permasalahan yang ada sangat banyak dan baru.
  • Wilayahnya menjadi pusat Syiah, sehingga banyak terjadi perdebatan yang mendorong penggunaan akal.
  • Cukup sedikit hadits yang beredar, sehingga sangat hati-hati menerima sebuah hadits.
  • Pembahasan hukum sangat luas dan sistematis karena banyak dan rumitnya permasalahan.

 

Kedua, ahlul hadits, yang dominan penggunaan haditsnya. Apa karakteristiknya?

  • Terkonsentrasi di Hijaz.
  • Banyak terdapat sahabat penghafal hadits, sehingga permasalahan bisa langsung dicarikan dalil hukumnya dari hadits. Mereka pun mendapat gelar ahlul hadits
  • Permasalahan kehidupan yang simpel, karena wilayahnya relatif berbentuk padang pasir dengan peradaban yang sederhana.
  • Kurang dalam berdiskusi karena dinamika pemikiran yang berbeda tidak terjadi.

 

Mazhab-mazhab yang Terbentuk

Kemunculan mazhab adalah sesuatu yang alami dan niscya. Karena akal berbeda, kondisi wilayah dan zaman juga berbeda, maka sangat wajar jika terjadi perbedaan dalam hasil menyimpulkan dari dalil yang ada.

 

Oleh karena itu banyak sekali mazhab yang bermunculan. Kalau dalam perkembangannya jumlah mazhab itu berkurang, bukan berarti ada intimidasi dari penguasa atas mazhab tertentu. Tapi lebih disebabkan karena kurangnya para pengusung mazhab tersebut, sehingga mazhab tersebut mati ditelan sejarah.

  • Al-Imam Abu Sa’id Al-Hasan Al-Basri (110 H)
  • Al-Imam Abu Hanifah (150 H)
  • Al-Imam Al-Auza’I (157 H)
  • Al-Imam Sufyan Ibnu Sa’id bin Masruq Ats-Tsauri (160 H)
  • Al-Imam Laits bin Sa’ad (175 H)
  • Al-Imam Malik bin Anas (179 H)
  • Al-Imam Sufyan bin Uyainah (198 H)
  • Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (204 H)
  • Al-Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
  • Al-Imam Daud Azh-Zhahiri (270 H)

 

Ta’ashub (Fanatisme) Pada Mazhab

Ta’ashub adalah kecintaan yang disertai hawa nafsu untuk membela sebuah mazhab, baik benar maupun salah. Pada imam memperingatkan pengikutnya agar tidak terjatuh dalam perbuatan buruk ini.

 

Misalnya, Imam Abu Hanifah mengatakan, “Orang tidak boleh berpegang pada pendapat kami kalau tidak mengetahui dalil yang kami gunakan.”

Beliau juga mengatakan, “Haram hukumnya orang yang tidak mengetahui dalil kami berfatwa dengan pendapat kami. Karena kami adalah manusia biasa yang berpendapat tapi kadang nantinya menarik pendapat tersebut juga.”

 

Sementara Imam Malik memberikan nasihat, “Aku hanya manusia biasa yang bisa benar bisa salah. Telitilah pendapatku, apa yang sesuai Al-Quran dan Sunnah bisa kalian ambil. Sementara yang bertentangan jangan kalian ambil.”

 

Imam Syafi’i mengatakan, “Umat Islam sepakat bahwa hukum yang jelas dipahami dari hadits tidak boleh ditinggalkan hanya karena mengikuti pendapat seseorang.”

 

Tak ketinggalan, Imam Ahmad mengatakan, “Jangan kalian bertaklid kepadaku, Malik, Syafi’i, Auza’i, Tsauri, tapi ambillah dari sumber mereka mengambil.”

 

Nasihat-nasihat ini bukan larangan bertaklid. Tapi larangan ta’ashub, agar orang terus belajar. Sangat sesuai dengan aturan ijtihad dan taklid.

 

Kesimpulan

  • Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan menelaah dalil-dalil hukum furu’, hendaklah mengikuti salah seorang imam.
  • Namun lebih baik lagi kalau sikap mengikuti tersebut diiringi dengan upaya semampunya dalam memahami dalil-dalil yang dipergunakan oleh imamnya,
  • dan hendaklah ia mau menerima setiap masukan yang disertai dalil, bila ia percaya pada keshalihan dan kapasitas orang yang memberi masukan tersebut.
  • Bila ia termasuk ahli ilmu, maka hendaklah selalu berusaha menyempurnakan kekurangannya dalam keilmuan sehingga dapat mencapai derajat mujtahid.

 

Demikian, aturan ijtihad dan taklid. Semoga kedisiplinan kita dalam berpendapat akan bisa menjadikan kondisi umat Islam semakin baik lagi. 

 

 

===

Artikel ini diterbitkan atas kerja sama dengan mukjizat.co




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment