Puasa Syawwal atau Puasa Ganti Dulu?

By Muslim ID |    668 Views 19 Mei 2021, 07:15:56 WIB Fiqih
Puasa Syawwal atau Puasa Ganti Dulu?

Keterangan Gambar : ilustrasi (pixabay)


Oleh: Ardiansyah Ashri Husein Lc., MA

 

Puasa enam hari di bulan Syawwal hukumnya sunnah menurut jumhur ulama (Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Daud Azh-Zhahiry, Ibnul Mubarak, dll), baik dilakukan secara beruturut-turut (enam hari) atau secara berselang. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat Abu Ayyud Al-Anshary bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

Baca Lainnya :


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” [HR. Muslim, dl]

 

Dalam kitab Sunan-nya, Imam At-Tirmidzi juga mengatakan hal serupa,

“Sekelompok ulama mengatakan sunnah hukumnya berpuasa enam hari di bulan Syawwal berdasarkan hadits ini. Ibnul Mubarak mengatakan: ‘Ini bagus, puasa ini semisal 3 hari di setiap bulan’ .” (Sunan At-Tirmidzi pada komentar hadits no. 759).

 

Pendapat jumhur ini juga dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah (28/92),

“Jumhur (mayoritas) fuqaha seperti ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Mazhab Hanafi muta’akhirin berpendapat bahwa disunnahkan berpuAasa enam hari di bulan Syawwal setelah puasa Ramadhan.”

 

Berbeda dengan jumhur, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memakruhkan puasa enam hari di bulan Syawwal karena di samping tidak mendapatkan dalil yang cukup kuat terkait puasa Syawwal, beliau juga khawatir orang-orang awam menyambungnya dengan puasa Ramadhan. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 7/468-469).

 

Imam Malik rahimahullah berkata,

“Puasa enam hari di bulan Syawwal tidak pernah dikatakan oleh seorang ahli ilmu dan ahli fikih untuk melakukannya. Tidak pernah didapati dari kalangan salaf yang melakukannya. Para ulama pun memakruhkan puasa tersebut, bahkan mereka khawatir akan bid’ahnya. Dan dikhawatiri pula orang awam yang tidak mengerti akan menyambungkannya dengan puasa Ramadhan. Kalau itu adalah suatu keringanan, mereka tentu akan melakukannya.” (Al-Muwattha: 1/311).

 

Namun bagaimana hukum puasa Syawwal bagi seseorang yang masih memiliki utang puasa Ramadhan yang belum selesai? Secara umum ada tiga pendapat di kalangan ulama terkait kebolehannya, berikut rinciannya;

 

Pertama, boleh mendahulukan puasa Syawwal sebelum mengqadha puasa Ramadhan karena waktu pelaksanaannya mudhayyaq (sempit dan terbatas) sementara waktu untuk mengqadha puasa Ramadhan muwassa’ (luas) hingga Ramadhan berikutny. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi.

 

Hal ini seperti penjelasan Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i bahwa kewajiban membayar utang puasa Ramadhan itu mempunyai waktu yang panjang dan longgar (al-wajib ala at-tarakhi), tidak harus dikerjakan pada bulan Syawwal, tapi waktunya bisa kapan saja. Hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala;

 وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ

“Dan barang siapa yang sakit dan berada dalam perjalanan (lalu dia berbuka) maka dia (harus mengganti puasa tersebut) pada hari-hari lainnya.” [QS. Al-Baqarah: 185].

 

Dalil normatif kebolehannya juga terlihat pada hadits 'Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
 

“Saya pernah punya utang puasa Ramadhan dan saya belum melunasinya kecuali di bulan Sya’ban”. [HR. Al-Bukhari].

 

Syaikh Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli menjelaskan,

“Masalah di Tanbih dan banyak ulama menyebutkan bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur, perjalanan, masih anak-anak, masih kufur, tidak dianjurkan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal.

Abu Zur’ah berkata, tidak begitu juga. Ia tetap dapat pahala sunnah puasa Syawwal meski tidak mendapatkan pahala yang dimaksud karena efeknya setelah Ramadhan sebagaimana tersebut di hadits. Tetapi jika ia sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa uzur, maka haram baginya puasa sunnah.

Masalah yang disebutkan Al-Mahamili mengikuti pandangan gurunya, Al-Jurjani (orang yang berutang puasa Ramadhan dimakruhkan berpuasa sunnah. Kemakruhan puasa sunnah adalah bagi mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur).” (Nihayatul Muhtaj, DKI 3/208).

 

Ketiga, haram karena mengqadha puasa Ramadhan hukumnya wajib sementara puasa Syawwal hukumnya sunnah. Ibadah sunnah tidak boleh didahulukan atas ibadah yang wajib. Ini adalah pendapat ulama Mazhab Hanbali.

 

Terkait hal ini, Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah menguraikan,

“Barang siapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, hendaklah mendahulukan mengqadhanya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu lebih baik daripada puasa sunnah Syawwal.” (Latha’iful Ma’arif, 392).

 

Di antara dalil yang dikemukakan adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah,

من أدرك رمضان وعليه من رمضان شيء لم يقضه لم يتقبل منه، ومن صام تطوعا وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنه لا يتقبل منه حتى يصومه

“Barang siapa yang mendapati Ramadhan dan dia masih mempunyai utang kewajiban puasa darinya yang belum dia penuhi maka tidak diterima amalan puasanya, dan barang siapa yang berpuasa sunnah sedangkan dia masih mempunyai utang puasa Ramadhan yang belum dilunasi, maka tidak diterima puasa sunnahnya.” [HR. Ahmad].

 

Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait ibada puasa Syawwal yang dilakukan sebelum puasa qadha. Namun secara umum jumhur (mayoritas) ulama membolehkannya.

 

Wallahu a’la wa a’lam

 

 

===


Artikel ini ditayangkan atas kerja sama Asamuslim.id dengan Indonesia Sharia Consulting Center




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment