Memaknai Ibadah di Idul Adha

By Admin |    131 Views 20 Jun 2024, 16:34:13 WIB Taujih
Memaknai Ibadah di Idul Adha

Oleh: Dr. Atabik Luthfi, Lc., MA.


Idul Adha merupakan hari raya yang dikaitkan dengan dua ibadah agung, yaitu ibadah haji dan ibadah kurban. Sedangkan Ibadah haji dan ibadah kurban melekat pada keduanya syi’ar agama sebagai tanda takwa bagi yang mengagungkannya: “Barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka itu pertanda hati yang bertakwa” (QS. Al-Hajj: 32)

 

Secara kaifiyat fikih, pelaksanaan ibadah haji dan kurban sudah dituntun lengkap oleh Rasulullah saw. Namun secara nilai, kedua ibadah mulia di penghujung tahun hijriah tersebut layak untuk selalu direnungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Baca Lainnya :

 

Ibadah haji dan ibadah kurban sejatinya menjadi parameter kesiapan seorang muslim memenuhi keta’atan kepada Allah swt dalam berbagai keadaan. Perjalanan panjang ibadah haji menuntut kesiapan fisik, mental, dan spritual demi menyempurkan seluruh manasik yang dituntun dengan sebaik-baiknya. Penat, letih, serta kondisi yang beragam merupakan ujian berat jama’ah haji untuk menggapai haji yang mabrur, jika dijalankan dengan penuh ketulusan, kesabaran, dan kesungguhan. Sampai Rasulullah saw bersabda, “Dan haji yang mabrur tidak ada balasan lain melainkan surga Allah swt”. [HR. Al-Bukhari]

 

Balasan surga bagi haji yang mabrur tentu disertai dengan kriteria dan tanda; apakah sebelum haji, saat pelaksanaan haji, maupun pasca berakhirnya pelaksanaan haji.

 

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tanda haji mabrur adalah seseorang kembali dari haji dalam keadaan zuhud dalam hal dunia dan semangat menggapai akhirat.” Beliau mengatakan pula bahwa tanda haji mabrur adalah meninggalkan kejelekan setelah haji.

 

Ibnu Rajab mengatakan, “Tanda diterimanya suatu amalan kebaikan adalah amalan tersebut dilanjutkan dengan kebaikan. Tanda tidak diterimanya suatu amalan adalah amalan baik malah dilanjutkan dengan maksiat.”

 

Dapat dikatakan bahwa soal kemabruran haji tidak hanya ditinjau dari aspek fikih manasik, namun juga bagaimana lisan, sikap dan perilaku terjaga. Pengendalian emosi dan olah jiwa yang bagus, serta hubungan yang baik antar sesama jama’ah haji yang datang dari seluruh penjuru dunia, yang memang memiliki banyak perbedaan dalam berbagai aspeknya (heterogen).

 

Dalam konteks ini, Al-Qur’an dan Al-Hadits menegaskan pentingnya menjaga sikap dan perilaku.


اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat”. [QS. Al-Baqarah: 196]

Rasulullah saw bersabda mengingatkan semua jama’ah haji agar menghindari rafats (kata-kata kotor, atau yang berkonotasi seks), fusuq (perbuatan maksiat), dan jidal (berdebat atau bertikai) yang dapat mempengaruhi nilai kemabruran haji.

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barangsiapa berhaji dan tidak berkata jorok dan berbuat fasik, maka akan keluar dosa-dosanya seperti ketika dilahirkan oleh ibunya”. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Semua aspek religiusitas dan spritualitas ditempa sepanjang berada di tanah suci, karena diharapkan tidak hanya mabrur secara vertikal, namun juga secara horizontal. Bahkan oleh-oleh haji paling mahal adalah saat mampu mengimplementasikan semua ibadah dan amal shalih ketika berada di tanah air bersama seluruh keluarga dan masyarakatnya.

Senada dengan ibadah haji, ibadah kurban pun memiliki dimensi kesalehan individual dan sosial. Di surat Al-Ma’idah: 27 diceritakan kurban pertama yang dijalankan oleh kedua putera nabi Adam as. Allah swt hanya menerima dari Habil, dan sebaliknya menolak dari Qabil. Alasannya disebutkan di akhir ayat, bahwa yang diterima hanya kurban dari orang yang bertakwa.

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلْءَاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa".

Di dalam kitab Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir disebutkan alasan penerimaan kurban Habil, karena ia memberikan yang terbaik dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Sedangkan Qabil berkurban yang terburuk dengan penuh kebencian kepada saudaranya

Sejarah kedua dari ibadah kurban terjadi pada masa nabi Ibrahim as. Ibadah kurban di masa ini dalam bentuk ujian untuk menyembelih puteranya Isma’il melalui mimpi. Seorang ayah yang ta’at dan anak yang sabar menjadi kunci keberhasilan ibadah kurban yang dipenuhi oleh keduanya. Bahkan Allah swt berkenan mengganti kurban Isma’il dengan domba yang sangat besar. Menurut Syekh Sa’di dalam kitab tafsirnya sebagai isyarat akan nilai dan kualitas seorang yang sangat sabar dan patuh akan perintah Allah swt.

وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. [QS. Ash-Shaffat: 107]

Pada masa nabi Muhammad saw, ibadah kurban didampingkan keutamaannya dengan ibadah shalat. Sehingga perintah Allah swt menyebut, “Maka shalatlah untuk TuhanMu dan berkurbanlah”. [QS. Al-Kautsar: 2]. Bahkan ikrar seorang muslim adalah mengingatkan akan shalat dan kurbannya, ditambah dengan kehidupan dan kematiannya dipersembahkan untuk Allah swt semata.

 قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”. [QS. Al-An’am: 162]

Semua nilai dan makna yang terkandung di dalam ibadah haji dan ibadah kurban sejatinya dalam rangka meningkatkan kedekatan (Taqarrub) dengan Allah swt, melalui kemanfaatan dan kebaikan kepada sesamanya sebagai manifestasi dari kebaikan seorang mukmin di hadapan Allah swt.


خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. [HR. Ath-Thabrani]

 

 

 

 

 

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment